Ieu aya Artikel dina Galamedia Salasa 3 Februari 2009, cikan, kumaha tanggapan ti baraya sadaya??
IRONIS memang, ketika sedang digalakkan pentingnya pendidikan berbasis budaya, pelajaran Bahasa Sunda di sekolah-sekolah yang ada di Bekasi, Depok, dan Tangerang, akan dihapuskan. Pernyataan itu diungkapkan langsung oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan saat bersilaturahmi dengan kalangan tokoh masyarakat di Hotel Horison, Minggu (1/2).
Apa yang akan dilakukan gubernur tentu sebagai reaksi atas usulan-usulan yang sebelumnya disampaikan oleh sebagian guru-guru di sana. Ketiga daerah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, bahasa kesehariannya memang bahasa Indonesia yang kebanyakan berdialek Betawi. Sehingga kalaupun mereka harus memaksakan berbahasa Sunda, logatnya pun ngejemplak sekali, tidak halus seperti orang-orang Sunda yang berada di Bandung dan sekitarnya.
Tentunya kalau hal ini benar-benar terjadi, pelajaran bahasa Sunda dihapuskan di sekolah-sekolah yang ada di ketiga daerah tersebut, menunjukkan bahwa budaya Sunda akan semakin "tergusur" di daerahnya sendiri. Kenapa tidak diupayakan sebaliknya, ketiga daerah yang berbatasan dan sebagian masuk wilayah Jawa Barat tetap mempertahankan pelajaran tersebut di sekolah-sekolah, bahkan lebih dikembangkan lagi. Kalaupun menjadi tidak menarik bagi orang-orang di sana, mungkin cara penyampaiannya yang terlalu monoton dan pengajarnya kurang mengikuti perkembangan tradisi kesundaan.
Kita tentu sangat prihatin kalau pelajaran bahasa Sunda di daerah-daerah tersebut benar-benar jadi dihilangkan. Bahasa Sunda yang merupakan "gerbang" untuk lebih mengetahui budaya Sunda, dalam kondisi yang demikian tentunya menunjukkan semakin melemahnya kecintaan kita terhadap budaya sendiri.
Kita sekarang ini memang tengah berada dalam perbenturan budaya yang sangat luar biasa. Tarik menarik kepentingan budaya, terutama lokal dengan yang dari luar tengah terjadi.
Kita tahu seperti apa wajah sesungguhnya budaya masyarakat Indonesia saat ini? Agaknya, tak begitu mudah melukiskannya. Kadang tampak khusyuk dan religius. Tapi tiba-tiba muncul panorama serbametal dan ingar-bingar. Kesalehan dan kebrutalan seolah berjalan beriringan, kadang tampil sama-sama populer dan semarak. Paradoks budaya tengah berlangsung seolah saling memperebutkan hegemoni kultural.
Dalam kondisi yang demikian, budaya Sunda seharusnya bisa jadi pedoman berperilaku bagi urang sunda. Dalam pandangan hidup urang Sunda, katanya, ada istilah cageur, bageur, bener, pinter, singer, maher tur moher.
Menurut pakar pendidikan dan kebudayaan, Prof. Dr. H. Engkoswara, M.Ed., kenyataan menunjukkan, manusia yang melaksanakan budaya Sunda seperti cageur, bageur, bener, pinter, singer, maher tur moher, tidak kurang pangan, sandang, papan sehingga hidup cukup yang berbahagia lahir batin.
Artinya, dengan konsisten menjalankan kebiasaan hidup dengan mengimplementasikan nilai-nilai budaya Sunda, kita tidak perlu khawatir menjadi orang yang ketinggalan zaman. Lalu, kenapa tidak lebih ditumbuhkembangkan? **
IRONIS memang, ketika sedang digalakkan pentingnya pendidikan berbasis budaya, pelajaran Bahasa Sunda di sekolah-sekolah yang ada di Bekasi, Depok, dan Tangerang, akan dihapuskan. Pernyataan itu diungkapkan langsung oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan saat bersilaturahmi dengan kalangan tokoh masyarakat di Hotel Horison, Minggu (1/2).
Apa yang akan dilakukan gubernur tentu sebagai reaksi atas usulan-usulan yang sebelumnya disampaikan oleh sebagian guru-guru di sana. Ketiga daerah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, bahasa kesehariannya memang bahasa Indonesia yang kebanyakan berdialek Betawi. Sehingga kalaupun mereka harus memaksakan berbahasa Sunda, logatnya pun ngejemplak sekali, tidak halus seperti orang-orang Sunda yang berada di Bandung dan sekitarnya.
Tentunya kalau hal ini benar-benar terjadi, pelajaran bahasa Sunda dihapuskan di sekolah-sekolah yang ada di ketiga daerah tersebut, menunjukkan bahwa budaya Sunda akan semakin "tergusur" di daerahnya sendiri. Kenapa tidak diupayakan sebaliknya, ketiga daerah yang berbatasan dan sebagian masuk wilayah Jawa Barat tetap mempertahankan pelajaran tersebut di sekolah-sekolah, bahkan lebih dikembangkan lagi. Kalaupun menjadi tidak menarik bagi orang-orang di sana, mungkin cara penyampaiannya yang terlalu monoton dan pengajarnya kurang mengikuti perkembangan tradisi kesundaan.
Kita tentu sangat prihatin kalau pelajaran bahasa Sunda di daerah-daerah tersebut benar-benar jadi dihilangkan. Bahasa Sunda yang merupakan "gerbang" untuk lebih mengetahui budaya Sunda, dalam kondisi yang demikian tentunya menunjukkan semakin melemahnya kecintaan kita terhadap budaya sendiri.
Kita sekarang ini memang tengah berada dalam perbenturan budaya yang sangat luar biasa. Tarik menarik kepentingan budaya, terutama lokal dengan yang dari luar tengah terjadi.
Kita tahu seperti apa wajah sesungguhnya budaya masyarakat Indonesia saat ini? Agaknya, tak begitu mudah melukiskannya. Kadang tampak khusyuk dan religius. Tapi tiba-tiba muncul panorama serbametal dan ingar-bingar. Kesalehan dan kebrutalan seolah berjalan beriringan, kadang tampil sama-sama populer dan semarak. Paradoks budaya tengah berlangsung seolah saling memperebutkan hegemoni kultural.
Dalam kondisi yang demikian, budaya Sunda seharusnya bisa jadi pedoman berperilaku bagi urang sunda. Dalam pandangan hidup urang Sunda, katanya, ada istilah cageur, bageur, bener, pinter, singer, maher tur moher.
Menurut pakar pendidikan dan kebudayaan, Prof. Dr. H. Engkoswara, M.Ed., kenyataan menunjukkan, manusia yang melaksanakan budaya Sunda seperti cageur, bageur, bener, pinter, singer, maher tur moher, tidak kurang pangan, sandang, papan sehingga hidup cukup yang berbahagia lahir batin.
Artinya, dengan konsisten menjalankan kebiasaan hidup dengan mengimplementasikan nilai-nilai budaya Sunda, kita tidak perlu khawatir menjadi orang yang ketinggalan zaman. Lalu, kenapa tidak lebih ditumbuhkembangkan? **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar